Apa Resesi 2023 Nyata Atau Histeria Masal?

JURNALJABAR.CO.ID –Para influencer di TikTok tengah ramai membahas mengenai resesi ekonomi tahun depan. Hal itu dibahas memang awalnya dari informasi yang disampaikan oleh pemerintah beberapa minggu belakangan ini.

Keterangan mengenai kondisi ekonomi global yang berat tahun depan disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya sederet lembaga keuangan internasional menyebutkan tahun depan keadaan ekonomi akan semakin gelap.

“Itu yang saya sampaikan itu dunia, ekonomi dunia tahun depan, memang semua lembaga internasional sampaikan dalam posisi yang tidak baik dan posisi lebih gelap” ujar Jokowi usai melakukan peresmian groundbreaking pabrik pipa di KIT Batang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu, dikutip lagi Senin (17/10/2022).

Selain itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga pernah mengungkap kondisi ekonomi di 2023. Suku bunga yang tinggi di berbagai negara berpotensi mempengaruhi kinerja ekonomi global terkoreksi ke bawah.

Sri Mulyani mengatakan kondisi ini dapat menciptakan stagflasi. Stagflasi adalah situasi di mana pertumbuhan ekonomi melambat, disertai dengan kenaikan harga (inflasi).

“Kenaikan suku bunga untuk menekan inflasi berpotensi mempengaruhi kinerja ekonomi global 2023 yaitu potensi koreksi ke bawah. Inflasi yang meningkat dan pertumbuhan ekonomi yang melambat dapat menciptakan situasi stagflasi,” kata Sri Mulyani dalam rapat paripurna di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (29/9/2022).

Dalam kesempatan itu, Sri Mulyani menyebut negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) bahkan berpotensi mengalami resesi pada 2023. Padahal negara maju tersebut merupakan penggerak perekonomian dunia.

Meski begitu, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva mengatakan Indonesia saat ini bisa menjadi titik terang saat ekonomi global memburuk. Hal ini disampaikannya saat bertemu dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Selasa (11/10).
“Indonesia tetap menjadi titik terang dalam ekonomi global yang memburuk,” kata Georgieva dalam bahasa Inggris.

Jokowi juga pernah mengungkap bahwa kondisi Indonesia saat ini patut disyukuri. Pasalnya tingkat inflasi di Indonesia disebut terkendali. Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya mengumumkan inflasi September sebesar 5,95% secara tahunan atau year on year.

“Inflasi juga masih terkendali setelah kenaikan BBM. Kita masih di angka di bawah 6%, di 5,9%. Ini tetap harus kita syukuri,” katanya dalam BNI Investor Daily Summit 2022, Selasa (11/10).

Padahal, Inflasi Indonesia sebelumnya diprediksi menyentuh 6,8%. Namun berkat kolaborasi semua pihak Indonesia berhasil menjaga inflasi di bawah 6%.

Kemudian, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto juga pernah mengungkap saat ini dan ke depan masih cukup kuat. Mengingat saat ini saja pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi yang tertinggi kedua di antara negara-negara G20. Kedudukan Indonesia kedua setelah Arab Saudi.

“Indonesia faktor eksternalnya masih sangat kuat. Sehingga Indonesia tidak termasuk dalam negara yang rentan terhadap masalah keuangan. Bahkan di antara negara G20, Indonesia adalah negara yang pertumbuhan ekonominya nomor 2 tertinggi setelah Saudi Arabia. Jadi, dari segi faktor eksternal Indonesia aman,” kata Airlangga dalam keterangan pers yang disampaikan melalui YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (11/10).

Airlangga juga mengatakan dari kekuatan ekonomi internal Indonesia juga diyakini cukup kuat. Ia pun masih yakin pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan mencapai 4,8% sampai 5,2%.

Dalam kesempatan yang berbeda, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memastikan Indonesia tidak ikut antre jadi pasien Dana Moneter Internasional (IMF). Hal ini meneruskan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Tadi presiden sampaikan ada 28 negara sekarang yang sudah antre masuk IMF. Kita jauh dari itu,” kata Luhut kepada wartawan di Jakarta Convention Center, Selasa (11/10).

Menurut Luhut, hal itu karena Indonesia optimistis mampu menjaga ketahanan perekonomian pasca pandemi COVID-19. Optimisme dan menjaga kekompakan dinilai penting dalam menghadapi ketidakpastian global termasuk mengenai resesi yang sering di gembor-gemborkan di media.

Bayang-bayang Resesi 2023 Semakin Nyata

Resesi ekonomi global di tahun 2023 semakin nyata. Bahkan perkiraan resesi tersebut telah disampaikan oleh Presiden World Bank Group David Malpass bahwa bank sentral di seluruh dunia telah menaikkan suku bunganya dan tren tersebut diperkirakan akan berlanjut di tahun depan.

Pada ujungnya, kebijakan tersebut berdampak kepada perlambatan ekonomi yang bisa memunculkan resesi di banyak negara, sehingga hal tersebut juga akan mengganggu kinerja ekspor.

Ekonom BNI Sekuritas Damhuri Nasution mengatakan, pada setiap krisis ekonomi global maka volume permintaan dan harga komoditas ekspor Indonesia biasanya akan menurun, sehingga nilai ekspor juga akan menurun.

Namun resesi yang diperkirakan terjadi tahun depan, Damhuri menilai ekspor masih akan berpotensi tumbuh, mengingat harga sebagian komoditas unggulan ekspor Indonesia diprediksikan masih tetap cukup baik menyusul embargo yang masih berlaku terhadap ekspor Rusia.

“Optimisme ini didasarkan pada perkembangan sejumlah indikator makroekonomi negara-negara mitra dagang utama Indonesia yang sampai saat ini menunjukkan resesi ekonomi global yang mungkin akan terjadi tidak dalam,” ujar Damhuri, Jumat (30/9).

Damhuri menambahkan, hal tersebut juga sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi negara-negara besar seperti Amerika Serikat (AS), China, Eropa dan Jepang yang oleh consensus diperkirakan masih mencatat pertumbuhan yang positif di tahun 2022 dan 2023 mendatang. Hal ini lantaran, resesi ekonomi yang diperkirakan tahun depan masih berpotensi tumbuh meskipun melambat.

Sementara itu, pertumbuhan impor diprediksikan juga akan melandai, lantaran biasanya resesi ekonomi dunia juga akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri juga ikut terkoreksi. Menurut Damhuri, dengan ekspor yang masih berpotensi mencatat pertumbuhan positif, maka neraca perdagangan Indonesia akan diproyeksikan masih berada di zona surplus sampai tahun 2023 mendatang.

konom Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teuku Riefky mengatakan, resesi global yang diperkirakan terjadi di tahun depan akan berdampak kepada neraca perdagangan Indonesia, terutama ekspor. Hal ini mengingat tujuan utama ekspor Indonesia adalah China, Amerika Serikat, India, Jepang dan negara-negara ASEAN.

“Kita tahu di China ekonominya sedang melambat, di AS juga nampaknya tanda-tandanya akan demikian di tahun depan. Jadi ini tentu akan memukul ekspor Indonesia,” ujar Riefky, Jumat (30/9).

Saran Dari Para Pakar Mengenai Resesi 2023

Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani, telah mengingatkan jika resesi global kemungkinan akan terjadi pada tahun 2023. Resesi sendiri merupakan fenomena turunnya perekonomian dunia karena dipicu oleh inflasi alias naiknya harga-harga.

Untuk mereka yang punya banyak uang, tentu sudah memikirkan langkah strategis dan masuk akal bagaimana untuk menyelamatkan aset mereka dari hantu inflasi ini.

Namun bagaimana dengan masyarakat? apa langkah nyata yang harus dilakukan agar tidak terlalu terkena dampak inflasi ini?

Perencana keuangan sekaligus Presiden International Association of Registered Financial Consultants (IARFC) Indonesia, Aidil Akbar Madjid, menyarankan masyarakat untuk menghindari menabung di bank di tengah menguatnya ancaman resesi tahun depan.

Menurutnya, inflasi hanya akan membuat uang masyarakat yang ditabung di bank akan terus tergerus.

“Jadi kalau uang kita masukkan ke rekening perbankan, dia akan kalah lawan inflasi,” kata Aidil dilansir dari Tempo.

Resesi atau turunya perekonomian dunia dipicu oleh kenaikkan harga-harga. Di sini, uang tampak seperti tidak ada artinya. Bagaimana tidak, jika kamu bisa membeli 10 barang dengan uang Rp100 ribu, maka inflasi membuat kamu harus memilih lima barang saja dengan nominal yang sama. Saat menghadapi resesi ini, Aidil juga berpendapat jika sebaiknya masyarakat mulai beralih menyimpan dananya ke produk-produk investasi.

Instrumen investasi yang tak akan terdampak inflasi dan bisa menjadi pilihan adalah emas, tanah, hingga saham. Sementara untuk kripto, Aidil membaca juga instrumen tersebut sudah tengah turun akhir-akhir ini. Aidil menjelaskan jika investasi yang dilakukan harus bertujuan jangka panjang.

Jangan pernah menggunakan dana darurat untuk melakukan investasi. Investasi yang aman setidaknya kamu perlu menyimpannya selama lima tahun hingga 10 tahun ke depan.

“Bahkan kripto, meskipun sekarang kelihatannya lagi turun. Tapi yang namanya investasi kan buat jangka panjang, harus di atas dua, tiga, empat, atau lima tahun,” ucap Aidil.

“Kita harus tetap paham risiko, diversifikasi, pelajari produk-produknya, riset. Jadi kalau dengan inflasi kita investasi ke produk-produk yang akan naik seiring dengan naiknya inflasi,” ujar Aidil. Meski demikian, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dalam keterangannya, membeberkan sejumlah manfaat menyimpan uang di bank.

OJK menyatakan menyimpan uang di bank lebih aman karena nasabah akan terhindar dari risiko pencurian, uang rusak, atau kehilangan.  Sebab, bank diatur dan diawasi ketat oleh OJK.

Selain itu, menabung di bank lebih praktis, mudah, dan menguntungkan lantaran nasabah akan mendapatkan imbal hasil. Kemudian, menabung di bank juga dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hingga Rp 2 milari per nasabah per bank

Cara Kita Meracik Dana Darurat Saat Resesi Terjadi

Perencana keuangan tengah gencar merekomendasikan masyarakat untuk membentuk atau meningkatkan kembali pos dana darurat. Ini seiring dengan kondisi perekonomian global yang semakin tidak menentu, termasuk adanya ancaman resesi 2023. Seperti namanya, dana darurat merupakan simpanan uang yang disiapkan untuk kondisi darurat.

Pos dana ini dapat menjadi alternatif jika sewaktu-waktu individu kehilangan sumber pendapatannya. Adapun dalam pembentukan dan penyimpanannya, masyarakat perlu memperhatikan sejumlah aspek. Seperti besaran dana yang perlu disimpan, porsi pembagian pendapatan, hingga penempatan dana darurat.

Besaran dana darurat Menurut Retail Proposition Division Head Bank OCBC NISP Chinni Yanti Tjhin, besaran dana darurat yang perlu disimpan disesuaikan dengan jumlah tanggungan yang dimiliki individu. Masyarakat yang masih lajang, menikah, atau sudah memiliki anak perlu menyiapkan dana darurat dengan besaran berbeda. Untuk masyarakat yang berstatus lajang, kebutuhan dana darurat minimal di 3-4 kali dari pengeluaran bulanan. Jika sudah menikah, maka kebutuhan dana darurat minimal 6 kali dari pengeluaran bulanan. “Jika Anda sudah menikah dan punya anak, maka kebutuhan dana darurat Anda adalah minimal di 12 kali dari pengeluaran bulanan,” kata Chinni dalam acara diskusi, dikutip Sabtu (15/10/2022).

Setelah menghitung dana darurat yang perlu dikumpulkan, individu perlu memahami kondisi keuangan terkini. Pemahaman meliputi berapa jumlah pendapatan, pengeluaran serta profil risiko individu setiap bulannya.

“Lalu, mengetahui cashflow Anda saat ini, sehingga Anda tahu berapa jumlah dana yang bisa disisihkan untuk menyiapkan dana darurat,” ujar Chinni.

Dalam pembentukan dana darurat yang baik diperlukan pembagian pendapatan yang proporsional dan tidak menekan kondisi keuangan individu. Pengeluaran untuk biaya hidup harus tetap jadi prioritas, namun besaran uang untuk dana darurat juga perlu diperhatikan. Menurut Chinni, individu dapat membagi pendapatan bulanannya dengan presentase 50 persen untuk biaya hidup, meliputi kebutuhan pangan, sandang, papan, cicilan hingga asuransi.

Kemudian, sebesar 30 persen dapat dialokasikan untuk keinginan seperti rekreasi, liburan, biaya streaming online dan 20 persen untuk tabungan dana darurat, investasi maupun dana pensiun. Menghadapi ancaman resesi global yang semakin nyata, individu dapat mengurangi porsi pengeluaran untuk keinginan hingga menjadi 15 persen, sehingga alokasi untuk tabungan dana darurat, investasi, maupun dana pensiun dapat meningkat menjadi 35 persen. Ini dapat dilakukan untuk mempercepat proses pembentukan dana darurat.

Dalam menyiapkan dana darurat, masyarakat tidak harus menempatkan seluruh dananya ke tabungan. Pasalnya, nilai dana yang ditaruh di tabungan berpotensi tergerus oleh kenaikan harga komoditas atau inflasi. Instrumen investasi dinilai dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tempat penyimpanan darurat. Dengan demikian, potensi keuntungan masih bisa diperoleh individu. Namun demikian, tidak semua instrumen investasi bisa digunakan sebagai pos dana darurat. Terdapat sejumlah kriteria yang perlu dipenuhi, agar instrumen investasi dapat menjadi dana darurat.

Chinni mengungkapkan, terdapat tiga kriteria utama instrumen investasi dapat digunakan sebagai dana darurat, yakni likuid, mudah diakses, dan aman.

Untuk kriteria likuid, artinya masyarakat harus memilih aset yang bisa dengan mudah dikonversi menjadi uang tunai dalam waktu relatif singkat.

Masyarakat tidak disarankan untuk memilih instrumen investasi yang sulit untuk diubah menjadi uang. Kemudian, instrumen investasi yang dapat dipilih untuk dana darurat juga harus aman.

Artinya, nilai dari dana yang ditempatkan tidak bergerak sangat volatil atau mudah beruba-ubah.

Misal beli saham, enggak cocok untuk dana darurat. Mungkin itu bisa buat instrumen investasi,” kata Chinni.

“Aman paling enggak pokoknya enggak terlalu banyak volatil-nya. Prinsip dasarnya, fundamentalnya jangan terlalu banyak bergerak,” tambah dia.

Terakhir, instrumen investasi yang dipilih juga harus mudah diakses. Sehingga, ketika terjadi kondisi yang tidak terduga, masyarakat bisa dengan mudah menarik dana daruratnya.

Jika melihat kriteria tersebut, masyarakt bisa memilih instrumen investasi seperti deposito bank atau reksa dana keuangan. Pasalnya kedua instrumen tersebut berkaitan dengan bank, sehingga lebih mudah diakses masyarakat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *