JURNALJABAR.CO.ID, Bandung–Masyarakat diminta waspada dengan makin meningkatnya kasus gagal ginjal akut (GGA). Namun masyarakat juga diminta tidak panik dan bingung menghadapi kasus tersebut.
“Meski angka kasus GGA tinggi, masyarakat tidak perlu panik dan bingung. Masyarakat agar meningkatkan kewaspadaannya dari dini,” kata Dr Ika Puspitasari, dosen Fakultas Farmasi UGM sekaligus Praktisi Farmasi Klinik RSA UGM, dalam Webinar Kupas Tuntas Kasus Gagal Ginjal Akut pada Anak dan dugaan sirup obat sebagai penyebabnya, Sabtu (22/10/22).
Deteksi dini pra rumah sakit menurutnya sangat penting. Jika menemukan pasien dengan usia kurang dari 18 tahun memiliki gejala demam, gejala infeksi saluran pernafasan akut (batuk, pilek), atau gejala infeksi saluran cerna (diare, muntah), volume urin yang berkurang, maka perlu membawa orang tersebut atau pasien ke fasilitas kesehatan tingkat pertama terdekat.
“Kalau sudah jarang mengeluarkan urine atau selama 24 jam tidak mengeluarkan urine maka wajib orang tersebut dibawa ke IGD. Apalagi terjadi perburukan dan pasien tidak bisa apa-apa lagi,” terangnya.
Ika meminta masyarakat untuk tidak panik. Jika tidak yakin dengan obat-obat yang ada maka diminta untuk tidak menyebarkan ke sosial media. Akan baik untuk sementara waktu menghindari obat-obat cair dan mencari alternatif obat non cair.
“Ya kalau masih ragu juga ada baiknya masyarakat bisa konsultasi ke dokter, apoteker, perawat atau bidan,” imbuhnya.
Meningkatnya jumlah anak-anak yang meninggal mencapai 133 orang atau sekitar 55 persen dari total kasus akibat gagal ginjal akut cukup memprihatinkan. Perhatian dan kepedulian banyak pihak sangat diharapkan.
Ika menjelaskan GGA menyerang anak-anak dengan usia kurang dari kurang dari 1 tahun, 1- 5 tahun, 6-10 tahun dan 11-18 tahun. Jumlah kasus di bulan Agustus mencapai 36, September 78 dan di bulan Oktober 110 kasus.
Berdasar kelompok umur terbanyak memang di rentang usia 1-5 tahun sebanyak 153. Sementara anak usia kurang dari 1 tahun sebanyak 26, usia 6-10 tahun sebanyak 37 dan usia 11-18 tahun sebanyak 25 kasus.
“Ini tentunya menjadi perhatian bersama karena di bulan Oktober sudah tinggi dan jika hanya Kementerian Kesehatan saja tentunya tidak bisa menangani sendiri,” sebutnya.
Dia menyampaikan WHO telah menemukan 66 kematian anak di Gambia pada Oktober 2022 terkait pemakaian sirup obat kofekmalin, Makoff, dan Magrib N. Melihat kondisi tersebut diperlukan kewaspadaan dini karena Gangguan Ginjal Parah Akut (GGPA) berdasar derajat gejala sebanyak 61 persen memiliki derajat keparahan stadium 3. Kematian pun dilaporkan sebanyak 55 persen total dari pasien GGPA yang dirawat.
Semua pihak pun ancang-ancang karena kasus sudah dialami banyak negara. Untuk itu menurutnya diperlukan strategi umum untuk keselamatan pasien. Di antaranya melalui penggunaan obat dan peralatan yang aman.
“Praktik klinik yang aman dan dalam lingkungan yang aman. Melakukan manajemen risiko, contoh mengendalikan infeksi. Membuat dan meningkatkan sistem yang dapat menurunkan risiko yang berorientasi pada pasien,” ujarnya.
Ika menyebut perlu juga melakukan pencegahan terjadinya adverse event (sistem identifikasi dan pelaporan). Mengurangi efek akibat adverse event dan melakukan upaya keselamatan guna mencegah kejadian memburuk yaitu melakukan pembatasan penggunaan terduga penyebab GGA yaitu penggunaan obat sirup.
“Jika GGA turun, utamanya di Gambia, negara yang juga banyak angka kejadian kasus ini maka kita bisa belajar dari sana,” tandasnya.