JURNALJABAR.CO.ID–Bank Dunia atau World Bank mengungkapkan tanda-tanda negatif ke arah stagflasi yang terjadi saat ini memiliki kesamaan dengan resesi di era 1970-an.
Lead Economist World Bank Habib Rab menuturkan ada empat persamaan antara kondisi dunia saat ini dan stagflasi pada 1970-an yang bisa dipelajari semua negara di dunia.
“Pertama, kenaikan inflasi globall yang cepat. Pada 1970, kita melihat kenaikan harga komoditas yang sama seperti kenaikan harga komoditas dan guncangan dari sisi pasokan yang kita alami pada 2022,” kata Rab dalam SOE International Conference: Investor Day yang diselenggarakan di Bali, Selasa (18/10/2022).
Kedua, inflasi yang tumbuh tinggi diikuti oleh kenaikan suku bunga di berbagai negara.
Hal ini serupa dengan kondisi 1970. Pada era tersebut, suku bunga selalu rendah, hingga kemudian naik setelah 1970.
Pada 2010, suku bunga acuan di banyak negara juga tercatat cukup rendah.
Kondisi ini dibarengi dengan kenaikan utang. Rab menujukkan kenaikan utang pada 2021 telah melebihi kenaikan di masa resesi tahun 70-an.
Menurutnya, kenaikan utang yang tinggi disebabkan oleh kebijakan moneter akomodatif yang ditunjukkan sebelum inflasi naik.
“Semua ini berbarengan dengan slowdown pertumbuhan ekonomi, dimana pada 1970 kondisi ini mengarah pada krisis keuangan,” ujarnya.
Rab membenarkan pelemahan ekonomi global pada 2022 mirip dengan kondisi di era 1970.
Kendati tanda-tanda krisis saat ini mengarah ke stagflasi yang jarang terjadi, Rab meyakini ada secercah harapan untuk menghindarinya.
Dia melihat ada perbaikan dalam kerangka kebijakan, terutama kerangka kebijakan moneter yang terkait dengan upaya meredam kenaikan inflasi.
“Seiring berjalannya waktu, kami melihat perbaikan dalam kerangka kebijakan moneter dengan fokus bank sentral lebih kepada stabilitas harga relatif dibandingkan periode awal,” ujarnya.
Kondisi ini, lanjutnya, terjadi di negara maju dan juga negara berkembang, termasuk Indonesia.
Alhasil, penguatan kerangka kebijakan moneter telah mengarah kepada kesuksesan menjaga ekspektasi inflasi. Buktinya, Rab melihat sensitivitas ekspektasi inflasi terhadap kejutan kenaikan harga mulai berkurang.
Pada awal 2000-an, masyarakat sensitif dengan pergolakan harga. Namun, sensitivitas tersebut berkurang pada periode 2005-2019.
“Jadi ekspektasi inflasi ini dapat lebih dikendalikan karena kredibilitas bank sentral sendiri dalam menangani inflasi,” katanya.
Kondisi ini, menurut Rab, juga terjadi di Indonesia.